Merawat Ingatan ,Merawat Bangsa

Kamis,18 Maret 2021
Penulis : Andika
Seorang pria kelahiran Pulau Karibia, bernama Franz Fanon mengatakan, kolonialisme merusak politik, psikologi, dan moral negara terkolonisasi. Pria ini menginspirasi perjuangan kemerdekaan negara bangsa di banyak tempat.
Tulisannya berupa essai pertama kali diterbitkan dalam bahasa Perancis. Ia tentu berbeda haluan dengan seorang Multatuli. Barangkali rakyat nusantara ketika itu, menemukan kesadaran sedang terjajah setelah Multatuli menulis novel.
Sayangnya, hingga kini, film tentang Multatuli tak kunjung jadi tontonan wajib nasional. Kita dan mungkin pengurus negara curiga film itu tidak objektif; atau bisa jadi akan membuka kotak pandora lain.
“Kotak Pandora” Kolonial
Kotak pandora itu berisi setumpuk catatan historis betapa sebagian dari pribumi ikut ambil untung. Pemerasan berlipat terhadap pribumi didukung oleh mental mark-up para pejabat bupati dan raja-raja era kolonial.
Britania memang lebih sukses dari Wilhelmina. Selain kejam, satu-satunya cerita yang saya ingat dari pelajaran kolonialisme Belanda adalah “Kebangkrutan VOC”. Organisasi dagang yang menjual saham pada warga Holand itu, dinyatakan kolaps.
Pemerintah Hindia Belanda kala itu yang dipimpin seorang gubernur. Mengubah kebijakan ekonomi. Menghentikan monopoli total atas perdagangan dan membuka konsesi bagi investor. Mereka menerima partisipasi investor dari bangsa lain.
Dengan demikian pemerintahan Wilhelmina berubah jadi pedagang konsesi bernama jawatan kolonial. Izin pertambangan, perkebunan, kehutanan di terbitkan. Undang-undang sektoral pun diterbitkan.
Melalui hukum baru itu, seluruh daratan di nusantara berubah jadi milik ratu Wilhelmina. Azas hukum itu bernama “Domein Verklaring”. Pribumi yang menggunakan tanah wajib membayar pajak ke Belanda, negeri yang hanya sempat di lihat oleh Tan Malaka, Hatta, Sahrir dan kawan-kawan.
Sejak itu, selain tanah Swapraja milik raja dan bupati, tidak ada lagi pribumi yang memiliki tanah. Mereka bekerja dengan keringat manis di atas tanah milik ratu Wilhelmina.
Ingatan Bangsa
Catatan di atas adalah cuplikan. Hanya beberapa bagian yang kelam masa lalu. Tentu nenek moyang kita yang telah menjadi tulang belulang berharap, keadaan itu tak dialami oleh kita.
Perjuangan untuk keluar dari keadaan itu sulit. Keterbatasan pengetahuan telah menjelma jadi sikap menerima. Menerima dan menikmati penderitaan itu mungkin sebagai “takdir”.
Keyakinan dalam kondisi terjajah sebagai “takdir” segera luntur setelah ide perjuangan kemerdekaan digelorakan. “Pribumi tidak akan kehilangan apapun selain belenggu” menjadi keyakinan baru.
Faktanya memang demikian. Mereka tidak memiliki apapun. Satu-satunya kemewahan adalah penderitaan. Ketika pekik kemerdekaan berkumandang, antusias rela mati, mengikutinya.
Penderitaan sebagai bangsa terjajah itulah yang membentuk imajinasi tentang Republik. Republik yang dibayangkan, persis seperti preambule Undang-undang Dasar 1945. Bangsa Indonesia merindukan sebuah keadaan dimana rakyatnya merasakan kehidupan adil dan makmur.
Negara menjamin keselamatan tumpah darah dan tanah air dari para kaum penjajah. Kemerdekaan menjadi keyakinan bahwa itu bukan hanya milik mendasar manusia tetapi hak segala bangsa.
Oleh karena itu, tesis sejati anti kolonialisme; adalah masyarakat adil dan makmur. Sebuah keadaan yang menjamin keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat tanpa diskriminasi.
Merawat Republik
Barangkali, kalau kita membicarakan konsep merawat Republik. Jawaban yang bisa kita utarakan cuma satu: wujudkan masyarakat adil dan makmur.
Kalau terlalu puitis, cobalah dengan bahasa sederhana ini, hentikan diskriminasi ekonomi, hukum dan politik. Berikan perlindungan hukum pada properti rakyat, tingkatkan kesejahteraannya, dan hentikan tindakan mencuri uang rakyat; korupsi.
Tetapi memang semua itu bisa jadi pedagogi kalau kita tak membuka mata. Bunga rampai perjalanan bangsa telah dihiasi ragam tragedi politik karena perbedaan asumsi mengisi kemerdekaan.
Sekarang kita berhadapan dengan konsep demokrasi liberal. Demokrasi ini berbasis pada otonomi individu, berhias kebebasan, berlandaskan persaingan. Memang pada zaman kolonial kebebasan liar semacam ini, nyaris tidak ada.
Tetapi kebebasan semacam ini memungkinkan apa yang menjadi tujuan pendirian Republik semakin bergeser ke pinggir. Kita belum selesai membuka kotak pandora kolonial, jangan sampai juga kehilangan peta jalan masa depan.
Peta jalan masa depan itulah yang disebut “politik ingatan”. “Jas merah” kata Bung Karno.***