Advokat Rakyat ,Agussalim,SH : Tambang Rakyat Itu Konstitusional ,Bukan Stigma Hukum

Selasa,8 Juni 2021
Sulteng – Advokat Rakyat Agussalim SH salah satu aktivis Gerakan Reformasi Agraria dan Lingkungan Hidup menegaskan konsep legal dari stigma hukum Tambang Rakyat.
Persoalan pertambangan tidak dapat
dilepaskan dari masalah agraria, dan
kegiatan pertambangan berada didalam tanah dan untuk melaksanakan kegiatan tersebut wajib mendapat izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).maka apabila izin ini didapat oleh seorang pengusaha atau pihak yang ingin melakukan usaha pertambangan, maka ini merupakan hak- hak atas pertambangan.
Izin Usaha Pertambangan diberikan oleh Bupati/walikota apabila wilayah berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota, jika wilayah usaha pertambangan berada pada lintas wilayah kabupaten/kota maka izin diberikan oleh gubernur, jika wilayah pertambangan berada pada lintas wilayah provinsi maka izin diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin Usaha pertambangan dapat diberikan kepada
badan usaha, Koperasi ataupun Perseorangan,
hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
37 dan Pasal 3812 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pemakaian Tanah Untuk Pertambangan Untuk dapat melakukan usaha pertambangan sudah pasti dibutuhkan sebidang tanah karena kegiatan penambangan tidak lain adalah melakukan penggalian tanah.
Keberadaan tambang memiliki eksistensi Sosial dan Corak Produksi dari Kebudayaan setempat.mencontohkan, pada beberapa kasus tambang dan perkebunan sawit misalnya. “Padahal kalau sudah dilabeli stigma, tidak ada urusannya dengan Konstitusi,” ujarnya.
Menurutnya, berbagai kritik sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum SDA di Indonesia. Namun selalu ada desas-desus dan kecurigaan terhadap petani lokal dan masyarakat adat.
“Pertama, hal ini terjadi dikarenakan kawasan mereka “dicaplok” atas nama investasi modal. Misalnya untuk tambang dan sawit. Saat tanah diberikan izin oleh pemerintah, membuat masyarakat kehilangan daya, apalgi untuk berdaulat. Maka, hutan, sungai dan laut akan dirusak, dihabiskan atas nama investasi,” urai Agus mencontohkan salah satu dampak sindikasi modal pada rezim perizinan.
“Padahal selama ini justru hutan rusak saat dipegang oleh pemerintah setelah izin eksploitas dikeluarkan,” sambungnya.
Ia menyebutkan, terjadinya perampasan hak atas SDA pasti menimbulkan konflik agraria dan pelanggan HAM. Agus juga menganggap, bahwa posisi DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten sebenarnya bisa menjadi penengah dari proxi legislasinya rakyat dengan pemerintah, namun realitasnya berbeda.
“Tidak adanya pengakuan terhadap rakyat itulah yang menimbulkan terjadinya perampasan-perampasan terhadap hak mereka. Rentan konflik agraria karena tanahnya digunakan untuk berbagai macam perkebunan dan tambang oleh perusahaan karena adanya izin yang dikeluarkan pemerintah,” tegas Agussalim.
Hal senada juga diungkapkan Direktur LBH Rakyat Khasogi Hamonangan SH. Ia menyebutkan, pentingnya solusi konstruktif hukum di daerah dan menghiapuskan ego kewenangan pusat dan daerah.
“SDA dan penghidupan agraria itu milik konstitusi. Bukan regulasi sektoral semacam perizinan. Sebab kewenangan akan muncul atas nama rezim perizinan yang menimbulkan stigma hukum,” tegas Khasogi Hamonangan selaku Direktur LBH RAKYAT.
lebih lanjut Agussalim SH katakan Stigma hukum dan sindikasi modal yang menghancurkan SDA karena adanya kolusi dan nepotisme dalam politik daerah untuk kepentingan nasional muncul akibat oligarki elit, ini harus dirubah dengan jalan keluar Tambang Rakyat dalam bingkai Koperasi, bukan Korporasi” timpal Agussalim.***