Palu, MediaPalu – Kota Palu belum benar-benar lepas dari bayang-bayang gempa 28 September 2018. Sore itu, pukul 18.02 WITA, bumi berguncang. Dalam hitungan menit, gelombang tsunami menyapu Teluk Palu. Di daratan, tanah menelan rumah-rumah akibat likuefaksi. Ratusan hektare permukiman lenyap seketika.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, bencana ini menelan lebih dari 4.340 korban jiwa, puluhan ribu luka-luka, dan ribuan orang kehilangan rumah. Kerugian ekonomi ditaksir mencapai Rp 18 triliun. Palu, Sigi, dan Donggala tercatat sebagai salah satu kawasan dengan dampak bencana terbesar dalam sejarah Indonesia.
Di tengah peringatan tujuh tahun tragedi itu, Minggu, 28 September 2025, Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Anwar Hafid mengajak masyarakat mengirim doa dan membacakan Al-Fatihah bagi para korban.
“Bencana itu bukan sekadar meruntuhkan bangunan. Ia merenggut ribuan nyawa dan meninggalkan luka mendalam,” katanya di Palu, Minggu 28 September 2025.
Anwar bukan sekadar pejabat yang berpidato dari podium. Ia adalah penyintas gempa 28 September. Ketika gempa melanda, ia baru selesai menjabat Bupati Morowali 2 periode dan tengah menghadiri acara Partai Demokrat di Hotel Sutan Raja. Enam hari pertama pascabencana, ia hidup bersama pengungsi di rumah warga.
“Kami makan nasi goreng seadanya, ganti pakaian dengan kaus bola pemberian warga,” kenangnya.
Luka Kolektif
Hingga kini, luka itu masih melekat dalam ingatan kolektif warga. Ribuan keluarga belum menemukan jasad kerabat yang hilang. Di Petobo, Balaroa, dan Jono Oge, tanah yang amblas berubah menjadi “kuburan massal” yang tak bisa digali.
Namun di tengah duka, lahir pula solidaritas sosial. Ratusan komunitas warga, relawan, dan organisasi internasional turun tangan. Gotong royong menjadi modal utama pemulihan. Dari hunian sementara (huntara), ribuan kepala keluarga perlahan beranjak ke hunian tetap (huntap).
Dari Luka ke Harapan
Gubernur Anwar Hafid menekankan bahwa proses pemulihan tidak sekadar soal fisik.
“Yang paling sulit adalah menyembuhkan ingatan dan memberi ruang bagi mereka yang kehilangan,” ujarnya.
Peringatan tujuh tahun kali ini dirangkaikan dengan dzikir bersama dan Milad Alkhairaat. Sebuah ikhtiar kolektif untuk mengenang, sekaligus merawat harapan.
Tujuh tahun setelah bumi berguncang, Palu berusaha menulis bab baru dalam sejarahnya. Luka tak akan pernah hilang, tapi semangat bangkit telah mengakar dalam ingatan warga.
“Semangat kebersamaan adalah modal utama untuk melanjutkan perjalanan panjang itu,” kata Anwar.
AMB